Kamis, 03 Februari 2011

LELAKI DI BATAS KOTA


Kupacu motorku dengan kecepatan sedang, karena hari masih pagi jalan raya  Solo-Boyolali belum terlalu ramai.  Hari ini  aku mendapat tugas dari kantor surat kabar  tempatku bekerja untuk mengantar santunan kepada salah seorang loper koran di Boyolali. Awalnya aku menolak, kenapa harus aku toh aku ada jadwal mewawancarai seorang pejabat penting yang sedang tersandung kasus korupsi di Sragen.  Cukup sulit pula untuk bisa membuat janji wawancara dengan pejabat yang sudah pindah tempat tinggal di hotel prodeo ini, tapi si Bos terus memaksaku. Si Bos cuma bilang, “Udah berangkat dulu sana, nanti kamu kecewa kalau tidak jadi berangkat lho Din!” Kata-kata si Bos justru membuatku semakin penasaran. Memang siapa sih loper koran ini dan kenapa surat kabar tempatku bekerja begitu care dengan dia. Biasanya santunan diberikan  kalau sedang  hari jadi  perusahaan ataupun kalau mendesak cukup dititipkan agen tempat dimana si loper mengambil koran. Parahnya lagi Si Bos tidak memberikan alamat lengkap dan siapa nama orang yang harus aku temui. Katanya agar jiwa detektifku sebagai wartawan semakin terpupuk.  Gila!  Si Bos  cuma pesan temui loper  koran yang mangkal di depan SPBU batas kota Boyolali. Lha loper koran kan banyak ‘ntar salah sasaran kena omel  lagi…
--------------------
Langit masih berwarna merah ketika Pak Qomar beranjak keluar dari mushola. Samar-samar dia mendengar jerit tangis suara bayi dari serambi bagian samping mushola.  Mulanya Pak Qomar tidak terlalu memperdulikannya mungkin hanya salah dengar atau suara kucing yang bertengkar. Namun semakin Pak Qomar tidak ingin peduli, suara itu semakin keras. Karena di dorong rasa penasaran Pak Qomar mencoba melihat ke  arah sumber suara.
“Masya Allah, bayi siapa ini dibiarkan kedinginan disini?” gumam Pak Qomar tak percaya ketika melihat sesosok makhluk mungil berbalut kain kumal yang tergeletak tidak berdaya di sudut serambi. Tubuhnya yang masim merah mulai membiru di bagian tangan dan kakinya. Semut-semut kecil pun terlihat  berjalan di ujung-ujung jarinya. Mungkin ini yang membuatnya menangis, ada beberapa bentol merah bekas gigitannya. Pak Qomar bergegas menggendong si bayi mungil yang malang itu. Sesaat Pak Qomar seperti tersihir dengan kehadiran bayi mungil yang lucu itu. Kerinduan untuk memiliki darah daging dari rahim istrinya muncul kembali. Ya Allah mungkinkah bayi ini yang Engkau kirimkan untuk menjadi penyejuk mataku setelah bertahun-tahun aku menanti hadirnya buah hati? Batin Pak Qomar dalam hati. Rengekan bayi itu kembali menyadarkan Pak Qomar dari lamunannya. Dengan kasih sayang Pak Qomar mendekap bayi itu agar tidak semakin kedinginan, seolah pak Qomar tidak ingin melepaskan mahluk mungil itu.
 Kemudian pak Qomar memukul kentongan hingga warga kampung berduyun-duyun datang ke mushola di ujung desa itu.  Sontak desa  mereka geger dengan ditemukannya bayi mungil di serambi mushola itu.
“Ada apa Pakde?” tanya Amir salah satu warga kampung  yang muncul pertama.
“Ini ada bayi yang ditinggal di serambi mushola Le, baru saja aku mau berdiri  meninggalkan mushola terdengar jerit tangisnya,”
“Ya Allah, tega benar ya Pakde! masak bayi merah tidak berdosa begini dibuang,”
Tak berapa lama kemudian pak RT dan warga yang lain mulai berdatangan,  Berbagai komentar warga keluar, simpati dengan kondisi bayi mungil itu maupun sumpah serapah bagi orang yang tega membuang bayi mungil itu.
“Pak sebaiknya gimana?” tanya Pak Qomar pada Pak Rt.
“Kita lapor ke kantor polisi saja, karena bagaimapun juga kasus pembuangan bayi termasuk perbuatan krimminal.”
“Tapi pak saya ingin sekali mengasuh bayi ini,” pinta Pak Qomar memelas.
“Iya pakde Qomar  tapi urusannya kita selesaikan dulu di kantor polisi, agar status bayi ini jelas.  Khawatirnya bayi ini adalah bayi yang diculik terus dibuang, kasihan orang tuanya kebingungan mencari,  kalau kita lapor polisi dulu nanti biar diusut anak siapa sebenarnya bayi ini,” terang Pak RT panjang lebar.
………………………….
Sepekan menunggu dalam kerinduan,  polisi belum juga menemukan siapa sebenarnya orang tua yang tega membuang bayi itu. Dan selama seminggu itu pula Pak Qomar dan istrinya   dengan setia setiap sore, menengok bayi yang masih merah yang dititipkan di rumah sakit umum daerah. Ingin rasanya Pak Qomar memeluknya, membelainya dan mengusapnya. Namun semuanya hanyalah angan-angan karena si bayi berada di dalam kotak inkubator untuk memulihkan kondisinya. Tidak  tega rasanya Pak Qomar melihat selang-selang yang dipasang di dada dan hidung si bayi.
“Bu-ne alangkah bahagianya ya kalau kita bisa membawanya pulang,” kata Pak Qomar sambil menatap bayi itu tanpa berkedip sedikitpun. Bu Qomar pun hanya mengangguk pelan. Sebuah anggukan yang tidak tertangkap sepasang mata Pak Qomar yang masih lekat menatap bayi itu. Setelah sepuluh tahun mereka menikah dan Tuhan belum juga mengkaruniakan buah hati, membuat Pak Qomar begitu ingin memiliki bayi mungil itu.  Namun jujur ada secuil rasa cemburu dalam hati Bu Qomar, mengapa pak Qomar terlihat sangat menyayangi bayi tu.
…………………………………
Alangkah girangnya hati pak Qomar ketika dari pihak rumah sakit dan kepolisian akhirnya mengijinkan Pak Qomar untuk mengadopsi bayi mungil itu. Jejak orang yang telah membuang bayi itu tidak terendus pihak kepolisian.   Setelah menyelesaikan surat-surat adopsi, lalu  digelarlah acara tasyakuran di rumah Pak Qomar yang sederhana. Acaranya cukup meriah, disembelih dua ekor kambing untuk aqiqah bayi laki-laki yang diberi nama Berkah itu. Pak Qomar sengaja memberi nama bayi itu Berkah, karena kehadiran si bayi dalam keluarganya adalah berkah dari Tuhan untuk keluarganya.
Sejak kehadiran Berkah seolah rumah Pak Qomar begitu hidup. Lelah sepulang bekerja tidak dirasa demi menimang  Berkah dalam gendongannya. Bu Qomar pun demikian, meskipun awalnya terbersit cemburu dengan si jabang bayi karena besarnya perhatian pak Qomar, akhirnya Bu Qomar mulai bisa menikmati kerepotannya sebagai seorang ibu. Kehadiran  Berkah benar-benar telah membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga kecil Pak Qomar.
……………………………..
 “Bu kok badan si Thole kelihatan semakin kelihatan kecil ya?”
“Masak to Pak-ne, wong kemarin tak timbang malah naik lima ons kok,”
“Apa cuma perasaanku ya Bu-ne?,” kata pak Qomar membuang nafas pelan sambil memperhatikan pertumbuhan Si Berkah yang dirasa tidak wajar.
“Memang ada apa Pak-ne?” Bu Qomar menghentikan aktivitasnya memasak sejenak  dan berjalan menuju dipan  kecil tempat Pak Qomar dan anak semata wayangnya duduk.
“Aku merasa kok kepala si Thole semakin tumbuh membesar ya Bu-ne? lagipula sudah beberapa hari kok sering rewel”
“Kemarin waktu aku tanya ke bu Bidan di Posyandu kalau habis di-imunisasi memang sering rewel pak-ne, jadi ndak apa-apa kata Bu Bidan”
“Ya semoga si Thole nggak apa-apa. Nang..Ning…Nung Ba…!.” Pak Qomar pun kembali ‘ngliling’ anak kesayangannya itu meskipun perasaan aneh masih mengganjal dalam  hatinya.
……………………………………
“Pak kamu pilih aku atau Berkah?.” tanya Bu Qomar lantang sambil menunjuk balita tak berdosa  yang menangis di sudut dipan sederhana tanpa kasur itu.
“Bu-ne sabar dulu, ada apa to ini?” kata pak Qomar sambil menyandarkan sepeda tua-nya di depan rumah. Tergopoh-gopoh pak Qomar masuk rumah saat mendengar tangisan Berkah.
“Sudah-lah Pak-ne, aku sudah tidak tahan!. Aku sudah lelah mengurusnya!. Sejak kehadiran  Berkah hidup kita malah semakin susah. Uang kita habis untuk membelikannya susu tapi ternyata anak itu cacat Pak-ne. Apa yang bisa kita harapkan dari anak cacat itu Pak-ne, hanya menambah beban hidup kita saja.,”
Sementara tangis  Berkah semakin keras, mungkin balita itu merasa bahwa dia menjadi penyebab pertengkaran Pak Qomar dan Bu Qomar.
Pak Qomar segera mengangkat Berkah dalam gendongannya untuk menghentikan tangisnya.
………………………………..
Pagi-pagi buta Pak Qomar membawa Berkah dengan sepeda tuanya. Pertengkaran semalam memaksanya membawa  Berkah keluar sepagi ini. Pak Qomar tidak tahu harus kemana membawa Berkah. Istrinya meng-ultimatum kalau si Berkah masih terlihat di rumah pagi ini maka hari ini juga Bu Qomar akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Pak Qomar benar-benar bingung, antara memilih istri yang telah setia mendampinginya selama 10 tahun atau  Berkah balita malang yang hidup sebatang kara. Benar-benar pilihan yang sulit.
Menjelang tengah hari Pak Qomar mengendong  Berkah di serambi sebuah masjid, direbahkannya balita malang yang sudah tak sanggup lagi mengangkat kepalanya itu.
Setelah sholat dhuhur, atas saran marbot masjid pak Qomar disarankan untuk membawa Berkah ke panti sosial anak.  Pak Qomar pun menuruti saran itu meskipun tidak tega dan dalam hatinya dia berharap bahwa panti akan menolak Berkah. Berat rasanya bagi Pak Qomar untuk berpisah dengan Berkah. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menumbuhkan rasa sayang dan  kebersamaan Berkah dengan  Pak Qomar. Pak Qomar lupa kapan persisnya kondisi kesehatan Berkah mulai menurun, seingatnya ketika usia  sembilan bulan Berkah mengalami sakit panas setelah imunisasi. Pak Qomar mengira itu hanya penyakit panas biasa, maka istrinya pun hanya menempelkan daun dadap serep yang diremas ke kening Berkah. Begitu kebiasaan yang turun-temurun di kampung  itu. Panas itu memang turun tapi akan timbul lagi setelah beberapa hari. Sampai usia Berkah genap satu tahun pertumbuhannya sedikit terhambat, balita seusianya pada umumnya sudah mulai berjalan dan berbicara. Namun hanya untuk sekedar mengangkat kepalanya Berkah merasa kesulitan. Sebenarnya beberapa kali Pak Qomar dan istrinya sudah mencoba  membawa Berkah ke Puskesmas maupun Rumah Sakit Daerah. Kata Dokter yang memeriksanya, Berkah terkena penyakit  hidrocephalus. Menimbunnya cairan di kepala yang menghambat pertumbuhan otak.  Satu-satunya jalan untuk mengobati adalah dengan operasi untuk mengeluarkan cairan tersebut.  Pak Qomar harus berpikir seribu kali untuk operasi, penghasilan Pak Qomar hanya cukup untuk makan dan membeli susu bagi Berkah.
………………………………….
“Ha! kenapa kau bawa pulang lagi anak sialan itu Pak-ne?” tanya Bu Qomar sambil berkacak pinggang di depan pintu.
“Aku ndak tega Bu-ne, bagaimanapun Gusti Allah telah menitipkan Berkah kepada kita,” jawab Pak  Qomar lirih.
“Jadi kau lebih memilih Berkah daripada aku, istrimu Pak-ne!, baik aku akan pulang ke Musuk hari ini. Bu Qomar masuk ke dalam dengan murka. Diambilya tas pakaian yang teronggok di atas almari di sudut kamar tidurnya. Tanpa menghiraukan debu yang menempel karena saking lamanya tas itu teronggok,  Bu Qomar buru-buru memasukkan pakaiannya. Pak Qomar hanya memandanginya dengan pasrah. Berkah yang tidak tahu apa-apa tangannya melambai-lambai ingin ikut Bu Qomar. Sudah satu bulan terakhir Bu Qomar enggan menyentuhnya, balita ini sangat merindukan sentuhan wanita yang sudah dianggap bundanya sendiri. Namun apa lacur, justru Bu Qomar membentak Berkah dengan kasar.
“Apa? Aku bukan ibumu….kamu itu cuma bikin susah orang saja. Pantesan orang tuamu saja membuangmu, wong hidupmu memang cuma nyusahin orang!,” kata Bu Qomar sambil mengibaskan tangannya.
“Sudah-lah Bu-ne hentikan kata-katamu itu. Berkah ndak tahu apa-apa. Kalau kamu ingin marah, maki-maki saja diriku,” Pak Qomar mengelus Berkah dengan iba. Merasakan aura penolakan yang cukup kuat dari Bu Qormah entah kenapa balita itu mulai berembun kedua matanya, hanya butiran bening tanpa suara. Kehadiranku tidak diinginkan keluarga ini lagi, itu yang dia ingin ucapkan ketika bisa bicara.
Malam itu Pak Qomar hanya tidur berdua dengan Berkah, tidak seperti malam-malam biasanya yang mereka lalui bertiga. Pak Qomar begitu sulit memicingkan mata, padahal ayam jago sudah berkokok pertanda sebentar lagi subuh tiba. Bergegas pak Qomar bangun menunaikan salat malam. Pak Qomar mengadu kepada Sang Pencipta meminta petunjuk untuk keputusan terbaiknya.
……………………………
Aku sampai di SPBU batas kota Boyolali. Kuedarkan pandanganku ke setiap pojok SPBU di batas kota itu. Namun belum juga aku melihat loper koran yang dimaksud si Bos. Iseng aku duduk di mushola yang terletak di sudut kiri SPBU. Tak lama berapa lama kemudian munculah seorang loper koran dari arah kota dengan sepeda tuanya. Pandanganku terpana demi melihat anak kecil yang dia dudukkan di kursi  rotan yang diikat dengan  bagian depan galangan sepeda tuanya.  Si anak tampak kepayahan dengan kondisinya. Inikah si bapak yang dimaksud bosku. Lagipula kuamati dari tadi  bapak ini satu-satunya loper koran yang aku temui.  Setelah meletakkan sepedanya si bapak membaringkan si anak di emperan mushola beralaskan selembar kain yang sudah lusuh. Kemudian si bapak mengambil koran yang tersisa di boncengan belakang sepedanya dan menawarkan kepada kendaraan-kendaraan yang antri membeli bensin. Iba, aku memandangi si anak yang tidak sanggup untuk sekedar menggerakkan badannya. Tiba-tiba mataku berkabut, membandingkan kondisinya dengan kehidupanku selama ini. Mulutnya bergerak-gerak, mungkin dia kehausan. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menangis. Ketika aku beranjak berdiri untuk mendekati si anak, sedetik kemudian lensa mataku merekam si bapak yang lari tergopoh-gopoh mendatangi si  anak. Dengan telaten  si bapak memberikan susu dalam botol itu kepada si anak. Aku betanya-tanya kemana ibunya sampai si bapak harus membawa anaknya yang sakit ikut bekerja.
……………………………..
“Akhirnya Bapak memilih bercerai?” tanyaku penasaran.
 “Iya Mas,  saya tidak tega kalau harus berpisah dengan Berkah,  Lagipula Gusti Allah telah menitipkan Berkah kepada saya, dia adalah doa yang terkabul Mas. Makanya saya tidak akan menyia-nyiakannya. Saya akan merawat Berkah semampu saya Mas”
Pak Qomar berpikir toh ketika pun perceraian itu terjadi istrinya masih bisa menghidupi dirinya sendiri dengan warisan ladang orang tuanya di Musuk, tapi kalau Berkah yang dibuang , siapa yang mau merawatnya?. Panti sosial yang disambanginya saja, enggan  menerima dengan alasan penuh. Semoga bukan suatu keputusan yang salah ketika pak Qomar bersikukuh memilih Berkah, bisikku dalam hati.
“Jadi bapak membawa Berkah tiap hari bersepeda dari  Ampel sampai batas kota Boyolali ini?”
“Lha iya Mas wong ndak ada yang bisa saya titipin, lagian nggak enak kalau harus merepotkan orang lain,”  Diam-diam terbersit kekaguman dalam hatiku. Ampel-batas kota Boyolali bukan jarak yang dekat, apalagi ketika harus ditempuh dengan sepeda onthel, berpanas-panasan, melaju diantara bus dan truk-truk besar serta membawa balita yang kondisinya demikian memprihatinkan. Aku tidak tahu harus bilang apa, seorang laki-laki yang sudah renta rela bersusah diri demi merawat balita tak sempurna yang ditemukannya secara tidak sengaja. Baginya itu adalah berkah, sebuah titipan dari Yang Maha Kuasa  dan sebuah jawaban atas doanya.  
Perbincangan kami diakhiri ketika si bapak hendak beranjak pergi mengambil koran sore yang akan diedarkan ke pelanggannya. Segera kurogoh ranselku untuk menyampaikan titipan dari kantor. Awalnya Pak Qomar menolak, tapi setelah aku jelaskan bahwa santunan itu bukan dari dompet pribadiku tapi dari perusahaan surat kabar yang biasa dijualnya, meskipun agak sungkan Pak Qomar menerimanya. Tidak banyak,  mungkin hanya cukup untuk membeli 10 kaleng susu untuk Berkah.  Ternyata di dunia ini masih ada manusia-manusia berhati malaikat, tidak hanya seperti perampok uang rakyat yang sedianya akan kuwawancarai hari ini.