Minggu, 30 Januari 2011

BELAJAR DARI SENJA


Segala puji syukur di atas segala syukur hanya kepada-Mu Rabb Yang Maha Pemurah. Sungguh dengan kemurahan-Mu hamba  masih menghirup udara yang Engkau turunkan di bumi. Ahad merupakan hari yang demikian melelahkan bagi saya. Pagi-pagi saya berangkat dari Boyolali karena rencana-nya ada dua agenda di Solo yang harus saya ikuti hari itu. Seperti biasa, ketika saya akan berangkat ke Solo, bapak selalu meminta saya menundanya barang sehari, “Senin pagi saja baliknya Nok.” Nok itu panggilan kesayangan dari bapak untuk saya.     “Toh masuk kerjanya kan masih hari Senin pagi,” lanjut bapak tanpa bermaksud menghalangi kepergian saya. Saya pikIr wajar jika bapak bersikap demikian, karena kami memang jarang bertemu. Paling cepat ya sepekan sekali, itupun biasanya saya tidak bisa lama-lama di rumah.
“Saya ada pelatihan pak,” jawab saya.  “Yo wis, hati-hati. Jangan lupa salat malam sama baca Qur’annya ya.” Itu pesan Bapak yang sering beliau sampaikan. 

Akhirnya meluncurlah saya ke Solo, mampir sebentar di asrama untuk menyelesaikan tugas yang  akan saya kumpulkan di pelatihan. Rasanya saya begitu semangat  untuk datang ke pelatihan karena saya sudah menyelesaikan satu bab buku yang saya tulis. Ingin segera bertemu mentor dan banyak hal yang ingin saya tanyakan, dari  gaya bahasa yang mulai berubah, buku sejenis yang saya temukan di pameran buku-4 buku dengan tema yang sama-, sampai hal-hal lain terkait teknis penulisan. Sebelumnya saya sudah SMS dengan mentor minta time untuk konsultasi duluan karena nanti mau ijin di awal. Beliau meng-iyakan. Saya pun bertambah semangat menuju tempat pelatihan, saya membayangkan diskusi-diskusi seru yang akan kami lakukan. Saya benar-benar mencintai ilmu dan senang jika ada orang yang mau berbagi ilmu.
Berangkatlah saya ke tempat pelatihan, sampai disana baru ada mentor saya dan beberapa teman. Menjelang  jam dua acara dimulai, itu pun mungkin tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Terlalu banyak berisi  hal-hal yang menurut saya kurang penting, sehingga esensi materi  kurang tersampaikan. Namun saya memaklumi itu, karena tempat pelatihan memang kurang kondusif. Hingga akhir waktu saya harus ijin, saya belum memperoleh kesempatan untuk berkonsultasi, karena ada teman yang mendahului. Oke lah saya maklumi, toh saya bisa berkonsultasi melalui e-mail.  Saya pun akhirnya meninggalkan tempat pelatihan tanpa mendapatkan apa yang saya inginkan. 
 Kecewa? Iya jujur  sedikit ada tapi tidak terlalu. Entah sejak kapan saya mulai terbiasa membuka jendela kekecewaan dalam hati saya. Sebab saya sadar, terkadang  dalam hidup saya akan menghadapi berbagai macam kondisi  yang tidak saya inginkan. Jauh dari sesuatu hal yang menurut saya ideal.  Oke, hadapi semua dengan senyum Nury! Itu nasehat teman saya. Smile! ^-^
Dari tempat pelatihan saya meluncur ke tempat acara yang sebetulnya tidak memungkinkan saya ijin. Tapi  saya nekat ijin karena menurut saya pelatihan itu demikian urgen bagi saya. Olala ternyata sampai di sana acara sudah selesai, padahal saya memperkirakan acara itu akan selesai menjelang maghrib.  Saya merasa demikian bersalah, sesuatu hal yang seharusnya saya ada justru saya tinggalkan untuk sesuatu hal yang ternyata  jauh dari apa yang saya harapkan.  Sekali lagi saya harus menarik nafas panjang, sabar. Bukankah saat segala sesuatu itu luput dari apa yang kita harapkan itu merupakan ujian kesabaran? Kemudian  saya menghubungi seorang teman yang seharusnya saya temui hari itu walaupun dengan perasaan tidak enak, karena saya nekat ijin. Hem ternyata beliau di rumah sakit, menunggu anaknya yang sakit. Dengan tubuh yang sudah demikian lelah meluncurlah saya ke rumah sakit. Agak kikuk saya menemui beliau, bahkan saking tidak enaknya saya meminta beliau untuk meng-iqob (memberi  sangsi) atas ketidakhadiran saya. Beliau hanya tersenyum dan saya tahu, beliau mungkin ingin mengatakan,”Nury, seharusnya kamu tidak melakukan itu.”  Setelah berbasa-basi kemudian saya undur diri. 
Selepas dari rumah sakit saya langsung ke asrama dengan  badan, pikiran dan  hati yang sudah  lelah. Hem akhirnya saya mampir di swalayan pondok, sekedar belanja kebutuhan pribadi yang sudah habis. Di swalayan saya bertemu teman lama, sedikit ngobrol membuat saya lebih enjoy. Pulang dari swalayan kebetulan lewat kebun  markisa  di belakang asrama. Sip, sudah berbuah dan siap petik. Lumayan sekalian untuk refresh saya memetik markisa. Hem enaknya segelas sirup markisa hangat, saya membayangkannya-ketika saya menyelesaikan catatan ini saya tengah ditemani segelas sirup markisa yang hangat.  
Habis dari kebun saya membersihkan diri. Sejenak saya menengok jendela kamar, rupanya langit  mulai memerah. Saya pun kemudian  keluar kamar dan duduk di atas balkon, sekedar menikmati senja yang temaram indah. Saya sengaja duduk menghadap kubah masjid pondok, di belakangnya berarak awan merah berlatar langit biru. Gradasi warna yang indah, ada biru, ungu, jingga, pink, abu-abu dan putih. Sempurna! Begitu sempurna keindahannya dan setiap hari lukisan senja itu selalu berganti rupa. Tidak pernah sama.  Saya pun merenung, subhanallah demikian indah ciptaan-Mu Ya Rabbi. Jarang sekali saya memperhatikan keindahan ciptaan-Mu  karena disibukkan berbagai urusan duniawi. 
Angin sore di Balkon berhembus semakin kencang, tapi saya memutuskan tetap berada di situ untuk menikmati senja. Saya lepaskan simpul-simpul  rasa yang membuat saya tidak nyaman hari itu. Saya buang semua perasaan negative diantara dzikir Al-Ma’tsurat yang saya lantunkan. Ya Rabb kesempurnaan itu hanya milik-Mu, tidak layak jika kiranya hamba mengharapkan kesempurnaan dari mahluk-Mu yang lemah. Saya  mencoba untuk memahami  dan memaafkan sikap teman-teman yang tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan hari itu. Saya membayangkan mungkin ketika saya berada di posisi mereka saya pun akan melakukan  hal yang sama. Dengan berpikir demikian membuat  saya tidak buru-buru menyalahkan orang lain. Walaupun dalam hati kecil, saya mempunyai azzam sebisa mungkin saya tidak akan mengecewakan orang lain. Jika saya sudah mengatakan ‘iya’, sebisa mungkin saya akan berusaha menepatinya.  Saya pun  larut dalam keelokkan lukisan senja sore itu, sempurna. Begitu sempurna ciptaan-Nya.  Pelajaran yang saya petik hari itu,  senja telah mengajarkan kepada saya  bahwa kesempurnaan hanya milik-Nya. Jangan pernah kita mengharapkan saudara kita seperti apa yang kita inginkan, karena mereka hanya manusia biasa bukan malaikat yang tidak pernah berbuat salah. Milikillah hati seluas samudra, hingga kotoran apapun yang masuk ke dalam samudra itu tidak pernah membekas.  Alhamdulillahirabbil’alamin atas semua hikmah ini Ya Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar